Arie Hanggara, seorang bocah berusia 7 tahun, ditemukan tewas mengenaskan di kamar mayat RSCM dengan tubuh penuh luka memar pada Kamis, 8 November 1984. Luka-luka ini diakibatkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandungnya, Machtino Eddiwan, di rumah mereka yang terletak di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Tragedi ini terjadi di ruang tamu rumah tersebut, dan kabar kematian Arie Hanggara segera menjadi berita besar yang menggemparkan publik Indonesia pada pertengahan November 1984. Menurut laporan Harian Kompas tanggal 9 November 1984, Arie meninggal setelah mengalami kekerasan fisik dari ayahnya karena dituduh mencuri uang di sekolahnya.
Arie, yang saat itu masih duduk di kelas 1 SD, meregang nyawa setelah dianiaya dengan tangan kosong dan gagang sapu oleh ayahnya. Tanpa sempat mendapatkan pertolongan medis, Arie meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Siapakah sebenarnya Arie Hanggara? Berdasarkan informasi dari Kompas.com, Arie Hanggara adalah seorang anak yang tewas setelah dianiaya secara brutal oleh ayah kandungnya, Machtino, dan ibu tirinya, Santi, pada tanggal 8 November 1984. Peristiwa tragis ini begitu mengejutkan publik hingga kisahnya diabadikan dalam sebuah film berjudul “Arie Hanggara,” yang diproduksi oleh PT Tobali Indah Film pada tahun 1985.
Arie Hanggara lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1977. Dia adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution, yang menikah pada tahun 1975 dan dikaruniai dua orang anak. Namun, rumah tangga mereka tidak berjalan mulus. Pasangan ini sering berpindah-pindah tempat tinggal, dan Machtino kerap berganti pekerjaan. Akhirnya, Dahlia memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya pada tahun 1981, dan bercerai dengan Machtino pada tahun 1982.
Setelah perceraian itu, Machtino menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Santi, yang kabarnya adalah teman dari Dahlia. Sayangnya, hubungan Machtino dengan Santi pun penuh dengan konflik dan kekerasan.
Sejak berada di bawah asuhan Machtino dan Santi, Arie Hanggara sering kali mengalami penyiksaan. Namun, penyiksaan yang lebih berat dimulai pada 14 Agustus 1984, ketika Machtino menemukan uang sebesar Rp 8.500 di dalam tas sekolah Arie. Machtino, yang merasa tidak pernah memberi Arie uang sebanyak itu, langsung menuduh Arie mencuri. Arie memang sempat mengaku mengambil uang itu dari tas temannya, tetapi setelah diselidiki oleh salah satu guru, tidak ada siswa yang merasa kehilangan uang. Hal ini membuat Machtino marah dan menghukum Arie dengan kekerasan.
Penyiksaan berikutnya terjadi pada 3 November 1984, ketika Machtino kembali menemukan uang sebesar Rp 8.000 di tas Arie. Kali ini, kemarahan Machtino dan Santi memuncak. Arie dipukuli dengan gagang sapu, dan Santi bahkan membenturkan kepala Arie ke tembok.
Hari-hari berikutnya menjadi mimpi buruk bagi Arie. Pada 4 November, dia dihukum berdiri menghadap tembok dengan kedua tangan terikat, dan makanan serta minumannya dijatah dengan ketat. Berdasarkan catatan kepolisian, Arie hanya diizinkan minum pada pukul 14.00 WIB dan makan pada pukul 20.00 WIB. Pada 5-7 November, Arie tidak diperbolehkan pergi ke sekolah dan terus-menerus menerima siksaan.
Puncaknya terjadi pada 7 November malam, ketika Arie kembali dihukum dengan cara yang kejam. Dia dipaksa berdiri dan jongkok secara bergantian di depan kamar mandi. Saat ayahnya terbangun sekitar tengah malam dan mendapati Arie duduk di kursi, amarah Machtino meledak. Arie kemudian dipukuli bertubi-tubi menggunakan gagang sapu, yang akhirnya merenggut nyawanya.
Arie Hanggara meninggal dunia sekitar pukul 03.00 dini hari setelah tak mampu lagi menahan sakit akibat siksaan yang dialaminya. Dalam kondisi tubuh yang lemah, Arie akhirnya terjatuh dan pingsan. Menyadari kondisi anaknya yang kritis, Machtino Eddiwan, ayahnya, segera membawa Arie ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dengan harapan bisa menyelamatkan nyawa anaknya. Namun, sayangnya, dalam perjalanan menuju rumah sakit, Arie sudah menghembuskan napas terakhirnya.
Ketika tiba di RSCM, Machtino mencoba menyembunyikan kebenaran di balik kematian putranya dengan mengaku bahwa Arie mengalami kecelakaan lalu lintas. Namun, pihak rumah sakit mulai curiga ketika melihat kondisi tubuh Arie yang penuh dengan luka memar, yang tidak sesuai dengan klaim kecelakaan yang disampaikan oleh ayahnya. Luka-luka tersebut lebih mengindikasikan adanya kekerasan fisik yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Dengan kecurigaan yang semakin menguat, pihak rumah sakit segera melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian.
Esok harinya, tepat pada tanggal 9 November 1984, saat Machtino datang ke kamar mayat RSCM untuk mengambil jenazah Arie, ia ditangkap oleh pihak kepolisian. Dalam interogasi yang dilakukan, akhirnya Machtino mengakui bahwa kematian Arie bukan disebabkan oleh kecelakaan, melainkan akibat penganiayaan yang ia lakukan sendiri selama beberapa hari terakhir. Pengakuan ini membuka tabir kelam di balik tragedi yang menimpa Arie Hanggara.
Pada hari yang sama, jenazah Arie Hanggara dimakamkan di Pemakaman Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Pemakaman ini menjadi saksi bisu dari sebuah kisah tragis yang mengejutkan banyak orang. Di pemakaman itu, terletak sebuah nisan dengan dua tulisan yang menyayat hati, “Maafkan Papa” dan “Maafkan Mama.” Tulisan ini dibuat oleh Machtino dan Santi setelah keduanya bebas dari hukuman, sebagai tanda penyesalan mendalam atas tindakan mereka yang telah merenggut nyawa anak yang seharusnya mereka sayangi.
Keberadaan tulisan “Maafkan Papa” dan “Maafkan Mama” pada nisan Arie menjadi simbol dari kesadaran mereka akan kesalahan besar yang telah mereka perbuat. Meskipun kata-kata tersebut tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa Arie, mereka mungkin berharap agar di alam baka, Arie bisa memaafkan kedua orang tuanya atas perlakuan yang tak manusiawi tersebut.
Peristiwa kematian Arie Hanggara meninggalkan luka yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga tetapi juga bagi masyarakat luas. Tragedi ini menggugah kesadaran banyak orang tentang pentingnya perlindungan terhadap anak-anak dari segala bentuk kekerasan, terutama yang dilakukan oleh orang terdekat mereka sendiri. Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa tindakan kekerasan, apapun alasannya, selalu membawa konsekuensi yang sangat tragis dan tidak dapat diperbaiki.
Kisah Arie Hanggara kemudian diabadikan dalam berbagai bentuk, termasuk dalam film dan tulisan, sebagai upaya untuk mengingatkan generasi selanjutnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Meskipun Arie telah tiada, namanya terus hidup sebagai simbol dari perjuangan melawan kekerasan terhadap anak.
Setelah menjalani proses persidangan, Machtino Eddiwan, ayah dari Arie Hanggara, akhirnya dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang tersebut menjadi sorotan publik karena menyangkut kasus kekerasan yang tragis dan menyayat hati. Hakim yang memimpin persidangan memutuskan bahwa bukti-bukti yang diajukan sudah cukup kuat untuk menjatuhkan hukuman penjara kepada Machtino. Akibat tindakan kejam yang menyebabkan kematian anaknya sendiri, Machtino dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Hukuman ini dianggap sebagai konsekuensi hukum atas kekerasan fatal yang telah ia lakukan, meskipun banyak yang merasa bahwa hukuman tersebut masih belum sebanding dengan nyawa yang telah hilang.
Tidak hanya Machtino yang menerima hukuman, Santi, ibu tiri Arie yang juga terlibat dalam tindakan kekerasan ini, turut diadili dalam persidangan yang sama. Pengadilan memutuskan bahwa Santi juga bersalah karena ikut serta dalam penganiayaan yang berujung pada kematian Arie. Sebagai akibatnya, Santi divonis dengan hukuman penjara selama tiga tahun. Hukuman ini diberikan berdasarkan perannya dalam kekerasan fisik yang dilakukan terhadap Arie, meskipun banyak yang berpendapat bahwa hukuman tersebut seharusnya lebih berat mengingat keterlibatannya dalam tindakan yang sangat tidak manusiawi tersebut.
Keputusan pengadilan ini menandai akhir dari proses hukum yang panjang dan sulit, namun tidak menghapus luka yang ditinggalkan oleh tragedi tersebut. Hukuman yang dijatuhkan kepada Machtino dan Santi mungkin memberikan sedikit keadilan bagi Arie, namun kenangan akan penderitaan yang dialami bocah tersebut akan terus menghantui masyarakat sebagai pengingat bahwa kekerasan terhadap anak tidak pernah bisa dibenarkan. Peristiwa ini juga menjadi cermin bagi sistem hukum dan masyarakat untuk lebih serius dalam melindungi anak-anak dari tindakan kekerasan, terutama dari orang-orang yang seharusnya memberikan cinta dan perlindungan.