Mengapa Allah dengan Bijak Memilih Kata Ganti Huwa dalam Al-Quran?

Mengapa Allah dengan Bijak Memilih Kata Ganti Huwa dalam Al-Quran?

Saat kita cermat mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung kata ganti (dhamir) untuk menyebut Allah Swt., kita akan menemukan fakta menarik bahwa semua kata ganti yang digunakan untuk Allah Swt. dalam al-Qur’an berbentuk maskulin atau mudzakkar. Meskipun banyak orang mungkin sudah menyadari hal ini, apakah kesadaran tersebut disertai dengan rasa ingin tahu yang mendalam? Jika ya, artikel ini akan membantu menjawab rasa penasaran tersebut.

Dalam al-Qur’an, Allah Swt. tidak pernah menggunakan kata ganti dalam bentuk feminin (mu’annats). Kata ganti untuk Tuhan selalu dalam bentuk huwa (maskulin), dan tidak pernah hiya (feminin). Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa Tuhan berjenis kelamin laki-laki, atau digunakan untuk mendukung superioritas gender tertentu. Allah Swt. Maha Adil dan tidak membedakan antara berbagai kelompok dalam masyarakat, termasuk dalam hal gender.

Ada setidaknya dua alasan mengapa kata ganti untuk Tuhan dalam al-Qur’an selalu menggunakan bentuk maskulin. Pertama, karena mengikuti tradisi. Penggunaan bentuk mudzakkar pada kata ganti Tuhan semata-mata mengikuti tradisi bahasa Arab yang memang selalu menggunakan kata ganti mudzakkar untuk merujuk kepada Tuhan.

Dalam kaidah bahasa Arab, dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) yang digunakan selain huwa adalah huma, hum, hiya, dan hunna, di mana kata ganti yang menunjukkan satu jumlah hanya huwa dan hiya. Jika Allah Swt. menggunakan selain kedua kata tersebut, hal ini tidak masuk akal karena Allah Swt. selalu menegaskan sifat keesaan-Nya dalam al-Qur’an.

Lebih dari itu, sejak dahulu kala, bangsa Arab selalu menggunakan kata ganti maskulin huwa untuk menyebut ‘Allah’ (Tuhan semesta alam). Selain merupakan kebiasaan bahasa, ini juga merupakan naluri logika mereka bahwa Tuhan lebih tepat dirujuk dengan dhamir huwa daripada hiya. Jadi, jika Allah menggunakan hiya, hal ini tidak hanya akan membingungkan secara gramatikal dalam bahasa Arab, tetapi juga secara logis menurut akal sehat mereka. Karena jika kita merujuk pada tulisan Allah sendiri (اَللهُ), secara otomatis akan merujuk pada isim mudzakkar karena tidak diakhiri dengan ta’ marbutah atau alif dan ta’.

Alasan-alasan tersebut secara implisit menjelaskan bahwa selain memperhatikan kondisi sosial-budaya, Allah Swt. juga mempertimbangkan kaidah kebahasaan masyarakat di mana al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, menjadi kurang relevan jika semua hal harus merujuk pada budaya Arab dalam praktik beragama dan kehidupan sosial di Indonesia. Bisa jadi, Allah Swt. menyiratkan nilai-nilai kontekstual dalam beragama melalui pemilihan kata ganti ini. Maka tidak mengherankan jika praktik muamalah kita sebagai Muslim Indonesia sedikit berbeda dengan masyarakat Arab karena perbedaan kultur sosial budaya.

Baca Juga :  Pentingnya Mempelajari Bahasa Arab Bagi Seorang Muslim

Berbicara tentang kata ganti maskulin untuk Allah dalam Islam, kita meyakini bahwa Allah tidak menyerupai siapapun atau apapun, yang berarti Allah tidak memiliki deskripsi gender. Jika Allah memiliki jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, ini akan berarti bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, yang tentunya bertentangan dengan keyakinan aqidah kita.

Lalu, mengapa Allah Swt. menggunakan kata ganti huwa atau he dalam bahasa Inggris? Hal ini terjadi karena dalam kaidah bahasa Arab, satu-satunya dhamir yang dapat digunakan untuk merujuk kepada Allah Swt. adalah huwa. Mengapa tidak hiya?

Dalam kaidah bahasa Inggris, gender dibagi menjadi tiga: male (he), female (she), dan neuter (it). Namun, dalam kaidah bahasa Arab, gender hanya dibagi menjadi dua, yakni huwa dan hiya. Lebih lanjut, dalam gramatika Arab, terdapat kriteria-kriteria khusus yang menjadikan sesuatu berjenis kelamin wanita atau feminin. Pertama, jika sesuatu tersebut bersifat feminin secara alami, seperti ummun (ibu) atau ukhtun (saudara perempuan), maka akan dianggap sebagai feminin. Allah secara esensial tidak memiliki sifat feminin, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai feminin.

Dalam konteks lain, bisa dikatakan bahwa semua kata benda netral (it) atau makhluk yang tidak memiliki gender yang jelas, dalam bahasa Arab, dikategorikan sebagai mudzakkar (maskulin), kecuali jika memiliki tanda-tanda muannats (feminin) atau memiliki alasan tertentu untuk dianggap sebagai muannats, atau memang sudah lazim diperlakukan sebagai muannats sehingga menggunakan dhamir muannats, contohnya: syamsun (matahari), naarun (api), ardhun (bumi).

Kedua, sesuatu dikategorikan sebagai feminin ketika memiliki pasangan, seperti yadun (tangan) atau ainun (mata). Karena Allah Swt. tidak memiliki pasangan (berdasarkan ayat qul huwa Allahu ahad), maka tidak dapat disebut feminin. Ketiga, sebuah kata yang berakhiran ta’ marbutoh (ة) dan ta’ ta’nits (ت ا) dianggap sebagai feminin. Karena lafaz Allah tidak diakhiri dengan huruf-huruf tersebut, maka Allah Swt. tidak dapat disebut feminin.

Dengan demikian, secara aturan gramatikal, kata ganti untuk Allah Swt. dalam al-Qur’an secara default atau sesuai aslinya menggunakan huwa karena kata ganti feminin tidak memungkinkan untuk digunakan, sehingga yang tersisa hanyalah huwa.

Baca Juga :  Bahasa Arab

Dalam bahasa Arab, karena tidak ada kategori jenis kelamin netral seperti dalam bahasa Inggris, dan hanya terdapat huwa dan hiya, maka kata ganti untuk Allah Swt. secara otomatis menggunakan huwa berdasarkan pertimbangan aturan kaidah bahasa Arab.

Tidak pernah ada wacana untuk mengganti kata ganti Tuhan dari huwa menjadi hiya, atau kata ganti lainnya, dalam literatur Islam. Tidak ada keberatan terhadap penggunaan kata ganti tersebut yang tercatat dalam sejarah Islam. Hal ini disebabkan karena pemahaman teologi Islam tidak memfokuskan pada perdebatan mengenai kata ganti untuk Tuhan.

Namun, yang perlu dipahami dengan jelas adalah bahwa penggunaan kata ganti maskulin ini tidak pernah dimaksudkan untuk mendukung fenomena patriarki atau superioritas kaum pria dalam al-Quran. Allah Swt. melalui al-Quran, menegaskan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Di hadapan Allah Swt., yang membedakan seseorang hanyalah tingkat ketaqwaannya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis

  • ChaDiba

    Ketika pena menyentuh kertas, ide-ide yang semula hanya berserakan dalam pikirannya mulai membentuk pola, melahirkan makna yang tidak hanya mencerminkan dunia luar tetapi juga menghidupkan dunia dalam diri kita. Menulis adalah proses memahat batuan kosong menjadi patung yang menggambarkan keindahan batin dan kebijaksanaan yang baru ditemukan.

    Lihat semua pos

Tagged with:
MuslimPedia