Bahasa Arab memiliki banyak cabang ilmu, namun dua yang paling penting untuk dipelajari adalah ilmu nahwu dan ilmu sharaf.
Ilmu nahwu mempelajari posisi kata dalam kalimat dan harakat pada huruf akhir dari suatu kata. Di sisi lain, ilmu sharaf membahas bagaimana suatu kata dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Contohnya, kata كَتَبَ (telah menulis) dapat diubah menjadi beberapa bentuk, seperti:
Dari contoh di atas, kita dapat memahami dasar ilmu sharaf. Secara bahasa, ash-sharfu (الصَّرْفُ) berarti perubahan.
Dalam istilah teknis, sharaf adalah ilmu yang mempelajari perubahan suatu akar kata menjadi berbagai bentuk untuk mencapai makna tertentu yang hanya bisa ditunjukkan oleh bentuk tersebut.
Sebagai disiplin ilmu, sharaf memfokuskan pada perubahan bentuk kata. (Syadzal ‘Arfi fii Fannish Sharfi, hal. 49)
Sejarah yang benar menunjukkan bahwa setelah Imam Ali, ilmu Nahwu dikembangkan oleh Abu al-Aswad ad-Du’alī. Al-Anbārī dan az-Zujāzī menegaskan bahwa ad-Du’alī adalah perintis ilmu ini setelah Imam Ali, karena ia yang mentransmisikan pengetahuan tersebut dari Imam Ali.
Kesepakatan di kalangan ulama Nahwu menyatakan bahwa ad-Du’alī adalah orang pertama yang memberikan harakat pada mushaf al-Qur’an. Fakta ini hampir tidak bisa dipungkiri, karena hampir semua generasi salaf dan khalaf tidak mempermasalahkannya.
Namun, ilmu ini baru diberikan nama “ilmu Nahwu” setelah kematian ad-Du’alī. Pada masanya, ilmu ini disebut sebagai al-ʿArabiyya. Ibn Ḥajar dalam kitabnya al-Iṣābah menyatakan, “awwalu man ḍabaṭa al-muṣhaf wa waḍaʿa al-ʿarabiyyata Abū al-Aswad” yang berarti orang pertama yang memberi harakat pada mushaf dan meletakkan dasar al-ʿArabiyya adalah Abu al-Aswad.
Setelah ad-Du’alī meninggal, nama al-ʿArabiyya digantikan dengan Nahwu, yang istilahnya diambil dari pernyataan Abu al-Aswad di hadapan Imam Ali.
Dari sinilah ilmu kaidah Bahasa Arab dikenal dengan nama ilmu Nahwu, yang secara bahasa berarti arah.
Orang pertama yang menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abu al-Aswad ad-Du’alī dari Bani Kinaanah atas perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib. Terdapat sebuah kisah tentang Abu al-Aswad ad-Du’alī, ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari.
Sang anak melihat ke langit dan terpesona oleh keindahan bintang-bintang. Kemudian ia berkata, ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ yang berarti “Apakah yang paling indah di langit?”, dengan mengkasrah hamzah, menunjukkan kalimat tanya.
Seorang ayah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, Bintang-bintangnya.” Sang anak menjawab, “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman.” Maka sang ayah menjelaskan, “Kalau begitu, ucapkanlah, ‘Betapa indahnya langit’, bukan ‘Apakah yang paling indah di langit’.”
Dikisahkan bahwa Abul Aswad Ad-Duali, ketika melewati seseorang yang sedang membaca Al-Qur’an, mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan salah. Sang qari mengucapkan:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑَﺮِﻯﺀٌ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪُ
dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata “rasuulihi” yang seharusnya didhommah. Ini membuat artinya menjadi, “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya,” yang merusak dan menyesatkan makna kalimat tersebut. Seharusnya kalimat tersebut adalah:
ﺃَ ﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑَﺮِﻯﺀٌ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ
yang berarti, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.”
Mendengar kesalahan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi khawatir bahwa keindahan dan kemurnian bahasa Arab akan rusak. Ketakutannya ini disadari oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang kemudian memperbaiki keadaan dengan menyusun kaidah bahasa Arab, termasuk pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah, kalimat ta’ajjub, kata tanya, dan lainnya. Khalifah Ali kemudian berkata kepada Abul Aswad Ad-Duali,
اُ ﻧْﺢُ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻨَّﺤْﻮَ
“Ikutilah jalan ini.”
Menurut riwayat lain, ilmu nahwu muncul pada zaman Abul Aswad Ad-Duali. Ketika ia mengunjungi putrinya di Basrah (sebuah daerah di Irak), putrinya berkata, “Wahai ayahku, mengapa sangat panas?” Abul Aswad Ad-Duali menjawab, “Bulannya memang musim panas.” Putrinya kemudian berkata, “Wahai ayah, saya tidak bertanya tentang panasnya bulan ini, tetapi saya ingin mengungkapkan kekaguman saya tentang panasnya bulan ini.”
Setelah kejadian itu, Abul Aswad Ad-Duali mendatangi sahabat Amirul Mu’minin Khalifah Ali RA dan menceritakan kejadian tersebut. Khalifah Ali kemudian membacakan, “Alkalaamu kulluhu yakhruju ‘an ismin wa fi’lin wa harfin ilakh ‘ala hadza annahw” (Kalam tidak boleh lepas dari kalimat isim, fi’il, dan huruf). Abul Aswad Ad-Duali kemudian menyusun bab tentang istifham dan ta’ajjub.
Para ulama terdahulu tidak memberikan informasi pasti tentang siapa yang pertama kali meletakkan dasar ilmu sharaf. Pada masa itu, ilmu sharaf dianggap sebagai bagian dari ilmu nahwu, bukan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu sharaf berjalan seiring dengan ilmu nahwu dan pada awalnya juga disebut dengan ilmu nahwu.
Ulama pertama yang mencatat siapa peletak dasar ilmu sharaf adalah Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiyaji (w. 879 H). Beliau menyebutkan bahwa Sahabat Mu’adz bin Jabal RA adalah orang yang pertama kali meletakkan dasar ilmu sharaf.
Namun, murid Al-Imam Al-Kafiyaji, Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H), dalam kitabnya Al-Iqtirah fi Ilmi Ushul An-Nahwi, mengomentari bahwa pendapat gurunya itu salah. Al-Imam As-Suyuthi meneliti lebih lanjut dan menyebutkan bahwa orang yang pertama kali meletakkan dasar ilmu sharaf adalah Mu’adz bin Al-Harra (w. 187 H).
Ilmu sharaf membahas kata-kata dalam bahasa Arab, khususnya isim dan fi’il yang mutasharrif (dapat berubah bentuk). Huruf tidak termasuk dalam objek pembahasan ilmu sharaf, sehingga tidak ada yang namanya tashrif huruf.
Sumber utama ilmu sharaf adalah Alquran, hadits-hadits Nabi, dan perkataan orang Arab. Dari analisis terhadap sumber-sumber ini, kaidah-kaidah perubahan bentuk kata disimpulkan.